Identitas
01.17 | Author:


Dulu, dulu sekali saat aku masih duduk di bangkuTK, aku kenal dengan sebuah band classic rock asal Jerman, Scorpions. Kemudian, menginjak SD, ndilalahnya (kebetulan), kakakku senang sekali memutar lagu-lagu progressive rock macam always milik Bon Jovi. Selain itu, waktu itu lagu-lagu tema slow rock dari negeri jiran Malaysia juga sangat ngetrend, macam Search dengan Isabella-nya. Entah kenapa, aku jadi makin akrab dengan musik-musik genre classic-progressive-rock. Acara musik favortiku waktu SD adalah MTV Classic, yang sering banget memutar lagu-lagu genre classic-rock n' roll-metal macam Skid Row, GNR, Bon-Jovi, Aerosmith, dll. Mungkin karena terbawa kakak, aku jadi ikut-ikutan senang dengan musik-musik bergenre rock, dan kesukaanku benar-benar mencapai puncaknya saat aku menginjak SMP. Yang membuatku makin keranjingan adalah, masa-masa SMP adalah masa-masa paling sulit dimana selalu siisi dengan ketidakcocokan dengan bapak, dan bersitegang dengan bapak adalah kegiatan rutinku setiap hari. Nah, di saat masa-masa depresi itulah aku makin keranjingan dengan musik-musik rock-metal itu, alasannya adalah, musik-musik itu adalah semacam musik pembebasan buatku, aku merasa sangat bebas, dan semua luapan emosiku bisa kutumpahkan saat aku 'fly' dengan musik-musik rock-metal. Rambut panjang, wajah menyeringai, gitar-listrik dengan distrorsi, adalah 'penampakan' yang sangat ideal menurutku. Aku begitu terobsesi untuk ber-style seperti para musisi-musisi rock itu.
Nah, semakin hari, seiring makin tuanya aku, keinginan-keinginan itu sedikit demi sedikit menjadi makin maksud akal, dalam artian, ada banyak hal yang lebih penting daripada kepengin bergaya seperti para musisi rock itu, selain alasan utama bahwa saat SMA aku selalu "ditilang" Wakasek gara-gara rambut gondrongku.
Suatu saat, di TV diputar film horror-drama berjudul The Crow. Dan apa yang paling menarik? Film itu bercerita tentang kebangkitan seorang musisi rock yang meninggal karena dibunuh para penjahat. Luar biasanya adalah, karakter The Crow dalam film tersebut : keren banget!! Pandangan mata elang, pembawaan dingin, musisi rock, tapi dengan segunung cinta di hati.
Oleh karena itulah, aku jadi sangat terinspirasi, sepertinya aku menemukan identitasku yang selama ini aku cari. Dan akhirnya, masuk kuliah aku bisa memanjangkan rambut (walau masih sering dicereweti bapak), serta memakai eyeliner (what??). Masa bodoh, aku kepengin jadi The Crow dengan tatapan mata elang-nya kok (tapi kalo ga salah, dalam film manifestasi The
Crow adalah burung gagak?).
Begitulah aku menemukan identitas (fisik)...
Yah daripada jadi anak baik-baik yang polos dan klimis, bosan!
|
This entry was posted on 01.17 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 13 Mei 2008 pukul 07.34 , Anonim mengatakan...

Awal aku suka rock dari mas Maher Tobing yang luaarrr biasa tampan itu. Kalo kamu ketemu dia, pasti bakal nyakngka dia Arab ato keturunan, tapi ternyata bukan. Dia Batak-Jawa.

Dia punya band, namanya "Viagra" (ih..). Dulu aku pernah hampir nonton dia main, tapi ternyata waktu aku dateng ke festival, dia udah main. Band-nya sih ga menang, tapi di jadi best guitar..

Habis itu.. aku ketemu cowo lagi, namanya Mas Adjie, dia juga punya band, namanya Local Noise, melodic punk. Aku jadi banyak belajar tentang punk. Hueheuhuehue..

Selera musikku yang sekarang banyak dipengaruhi oleh lelaki yang datang dan pergi itu. Hehe, rak penting banget ya komen-nya..

Lagi onlen mas? suka pake YM ga?